Sekitar 35 Ribu Pelarian Aceh di Malaysia Resah

Republika
Selasa, 7 Agustus 2007


 

KUALA LUMPUR — Sekitar 35.000 pencari suaka politik asal Aceh yang kini menetap di Malaysia saat ini sedang resah karena pemerintah Malaysia hingga kini belum ada kebijakan yang jelas apakah ijin tinggal bagi mereka diperpanjang atau tidak.

”Sebagian dari kami ijin tinggal sudah habis, tapi sebagian besar habis bulan Agustus 2007 ini habis. Tapi hingga saat ini pemerintah Malaysia belum jelas apakah akan perpanjang atau tidak,” kata General Coordintor PAJAN (Peace and Justice for Action), Ibnu Sakdan Abubakar, di Kuala Lumpur, Senin (6/8).

Menurutnya, jika pemerintah Malaysia tidak memperpanjang maka keberadaan para pencari suaka politik itu terancam menjadi pendatang ilegal. Mereka akan ditangkap pihak kepolisian Malaysia karena masa berlaku izin keimigrasian kadaluarsa pada bulan Agustus ini.

Para pencari suaka politik Aceh itu menyeberang ke Malaysia sejak konflik berkecamuk di Aceh pada awal 1990-an. Sejak konflik Aceh berlangsung, pencari suaka politik ke Malaysia mencapai 72 ribu orang. Sekitar 5.000 lebih di antaranya adalah anggota dan keluarga Gerakan Aceh Merdeka (GAM). ”Itu yang terdaftar di pemerintah Malaysia. Belum yang masuk secara ilegal. Mereka tersebar di sejumlah wilayah di Malaysia. Terutama di kawasan Klang, Petaling, atau Shah Alam. Mereka banyak bekerja sebagai buruh pabrik,” katanya.

Namun, setelah ditandatanganinya Perjanjian Helsinki, lebih 50 persen pencari suaka itu kembali ke kampung halamannya. Sehingga, jumlahnya menyusut menjadi 35 ribu. Selama berstatus pencari suaka politik, pemerintah Malaysia mengeluarkan dokumen keimigrasian yang bernama IMM13. Dokumen itu berupa kartu yang memiliki masa berlaku selama dua tahun.

”Kartu itu menggantikan paspor dan IC (semacam KTP). IMM13 dikeluarkan Agustus 2005 lalu. Otomatis, bulan ini, masa berlaku kartu IMM13 tersebut akan habis. Ini yang membuat para pencari suaka politik menjadi resah. Sebab, jika tidak ada perpanjangan, status mereka bisa berubah status menjadi pendatang asing tanpa izin (PATI),” jelasnya.

Sakdan mengatakan, sejumlah perwakilan pencari suaka politik asal Aceh sempat menanyakan sikap pemerintah Malaysia mengenai status mereka. Apakah IMM13 akan diperpanjang atau tidak. ”Namun, hingga kini, belum ada jawaban dari pemerintah Malaysia.”

Bapak tiga anak itu menambahkan, jika pemerintah Malaysia tidak memperpanjang izin, para pencari suaka itu sebenarnya tidak keberatan jika dipulangkan ke Indonesia. Namun, mereka khawatir masalah lain muncul dengan kepulangannya itu. ”Kami harus memulai kehidupan baru di Aceh. SSekitar 35 Ribu Pelarian Aceh di Malaysia Resah

KUALA LUMPUR — Sekitar 35.000 pencari suaka politik asal Aceh yang kini menetap di Malaysia saat ini sedang resah karena pemerintah Malaysia hingga kini belum ada kebijakan yang jelas apakah ijin tinggal bagi mereka diperpanjang atau tidak.

”Sebagian dari kami ijin tinggal sudah habis, tapi sebagian besar habis bulan Agustus 2007 ini habis. Tapi hingga saat ini pemerintah Malaysia belum jelas apakah akan perpanjang atau tidak,” kata General Coordintor PAJAN (Peace and Justice for Action), Ibnu Sakdan Abubakar, di Kuala Lumpur, Senin (6/8).

Menurutnya, jika pemerintah Malaysia tidak memperpanjang maka keberadaan para pencari suaka politik itu terancam menjadi pendatang ilegal. Mereka akan ditangkap pihak kepolisian Malaysia karena masa berlaku izin keimigrasian kadaluarsa pada bulan Agustus ini.

Para pencari suaka politik Aceh itu menyeberang ke Malaysia sejak konflik berkecamuk di Aceh pada awal 1990-an. Sejak konflik Aceh berlangsung, pencari suaka politik ke Malaysia mencapai 72 ribu orang. Sekitar 5.000 lebih di antaranya adalah anggota dan keluarga Gerakan Aceh Merdeka (GAM). ”Itu yang terdaftar di pemerintah Malaysia. Belum yang masuk secara ilegal. Mereka tersebar di sejumlah wilayah di Malaysia. Terutama di kawasan Klang, Petaling, atau Shah Alam. Mereka banyak bekerja sebagai buruh pabrik,” katanya.

Namun, setelah ditandatanganinya Perjanjian Helsinki, lebih 50 persen pencari suaka itu kembali ke kampung halamannya. Sehingga, jumlahnya menyusut menjadi 35 ribu. Selama berstatus pencari suaka politik, pemerintah Malaysia mengeluarkan dokumen keimigrasian yang bernama IMM13. Dokumen itu berupa kartu yang memiliki masa berlaku selama dua tahun.

”Kartu itu menggantikan paspor dan IC (semacam KTP). IMM13 dikeluarkan Agustus 2005 lalu. Otomatis, bulan ini, masa berlaku kartu IMM13 tersebut akan habis. Ini yang membuat para pencari suaka politik menjadi resah. Sebab, jika tidak ada perpanjangan, status mereka bisa berubah status menjadi pendatang asing tanpa izin (PATI),” jelasnya.

Sakdan mengatakan, sejumlah perwakilan pencari suaka politik asal Aceh sempat menanyakan sikap pemerintah Malaysia mengenai status mereka. Apakah IMM13 akan diperpanjang atau tidak. ”Namun, hingga kini, belum ada jawaban dari pemerintah Malaysia.”

Bapak tiga anak itu menambahkan, jika pemerintah Malaysia tidak memperpanjang izin, para pencari suaka itu sebenarnya tidak keberatan jika dipulangkan ke Indonesia. Namun, mereka khawatir masalah lain muncul dengan kepulangannya itu. ”Kami harus memulai kehidupan baru di Aceh. Sebab, di Aceh, mereka sudah tidak memiliki tempat tinggal dan sumber penghasilan. Ini juga bisa berdampak negatif,” tegas Sakdan.

Jika para pencari suaka dipulangkan, mereka bisa membuat angka pengangguran semakin membengkak. ”Kondisi itu juga bisa memicu terjadinya kriminalitas. Ini harus dipikirkan oleh pemerintah Malaysia, Indonesia dan pimpinan daerah Aceh,” ujar dia. ant

 

ebab, di Aceh, mereka sudah tidak memiliki tempat tinggal dan sumber penghasilan. Ini juga bisa berdampak negatif,” tegas Sakdan.

Jika para pencari suaka dipulangkan, mereka bisa membuat angka pengangguran semakin membengkak. ”Kondisi itu juga bisa memicu terjadinya kriminalitas. Ini harus dipikirkan oleh pemerintah Malaysia, Indonesia dan pimpinan daerah Aceh,” ujar dia.
Sumber : Republika dan Antara

Sipil Acheh tolak Konferensi Internasional

Sipil Aceh Tolak Konferensi Internasional BRR
Reporter
: AK News

Banda Aceh, acehkita.com.
Masyarakat sipil Aceh menyatakan penolakannya terhadap penyelenggaraan konferensi internasional tentang  Studi Aceh dan Samudera India pada 24-26 Februari mendatang. Apalagi, konferensi yang menelan dana Rp1,7 miliar itu tidak menjamin bermanfaat bagi korban.

Konferensi bertema “International Conference on Aceh and Indian Ocean Studies” itu diselenggarakan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias yang bekerjasama dengan Asia Research Institute Universitas Nasional Singapura, pada 24-26 Februari mendatang.

Masyarakat sipil yang menolak penyelenggaraan konferensi internasional tersebut menegaskan bahwa penolakan bukan karena mereka tertutup terhadap gagasan yang datang dari luar atau yang anti-ilmiah.

“Prinsip kami, tujuan utama dari proses rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh-Nias harus selalu dilandasi pada kepentingan dan terpenuhinya hak-hak dasar korban tsunami, seperti perumahan, dan pemulihan ekonomi masyarakat,” sebut koalisi masyarakat sipil dan intelektual dalam petisi yang diterima redaksi acehkita.com, Kamis (15/2) sore.

Koalisi masyarakat sipil yang menolak konferensi itu terdiri atas 25 organisasi, di antaranya: Forum LSM, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Koalisi NGO HAM, Gerakan Anti-Korupsi, Flower, Lembaga Bantuan Hukum, Sentral Informasi Referendum Aceh, Greenomics Jakarta, Partai Rakyat Aceh, Komite Pemantau Perdamaian dan Demokrasi, dan SAKSI Simeulue. Sementara dari kalangan intelektual ada nama Agus Nur Ama (yang lebih dikenal dengan sebutan
Agus PMTOH), Mukhlis A. Hamid, dan Fikar W. Eda (seniman Aceh di Jakarta).

Menurut mereka, ada tiga alasan mendasar menolak penyelenggaraan konferensi yang diikuti sejumlah perwakilan dari negara-negara yang terkena bencana tsunami 26 Desember 2004 lalu. “Dari segi etik, pelaksanaan konferensi tidak menunjukkan sama sekali sikap dan tanggung jawab intelektual yang berpihak pada amanat penderitaan rakyat,” sebut petisi tersebut. “Ini adalah sebuah wujud konferensi yang satir dan memalukan.”

Pelaksanaan konferensi itu juga dinilai mengabaikan asas skala prioritas. Mereka menilai jadwal konferensi dilaksanakan bukan pada waktu yang tepat, di saat masih banyak warga korban tsunami yang masih bertahan di barak-barak pengungsian karena belum memperoleh bantuan rumah.

Alasan ketiga adalah dari segi penghematan dana. Konferensi yang akan berlangsung selama tiga hari itu menelan biaya Rp1.769.309.000.

“Uang sebesar itu seharusnya tidak dihabiskan dalam tiga hari, yang belum tentu memberikan manfaan bagi masyarakat korban tsunami,” kata Sekretaris Jenderal Forum LSM, Wiratmadinata, dalam konferensi pers di kantor Aliansi Jurnalis Indenden Banda Aceh, Kamis (15/2) sore. “Harusnya BRR fokuskan untuk menyelesaikan rehabilitasi dan rekonstruksi.” [dzie]

Sumber berita     : www.acehkita.com

Defendan Pemboman Madrid

Defendan enggan beri keterangan — Perbicaraan pengeboman kereta api Madrid bermula semalam

MADRID 15 Feb. – Perbicaraan berhubung serangan paling dahsyat yang dikaitkan dengan Al-Qaeda di Eropah bermula di sini hari ini.

Sejumlah 29 suspek dihadapkan ke mahkamah atas tuduhan terlibat dengan serangan bom kereta api yang membunuh 191 orang dan mencederakan kira-kira 2,000 lagi pada tahun 2004.

Sembilan warga Sepanyol dan 20 lelaki Arab, kebanyakannya dari Maghribi menghadapi pelbagai tuduhan termasuk menganggotai kumpulan pengganas dan mencuri dinamit dari lombong di utara Sepanyol untuk dijual kepada pengebom.

Suspek pertama yang dihadapkan, Rabei Osman Sayed Ahmed menafikan segala tuduhan terhadapnya dan berikrar tidak akan memberi keterangan.

Rabei atau ‘Mohamed Mesir’ didapati bersalah menganggotai sebuah pertubuhan pengganas oleh sebuah mahkamah di Itali tahun lalu dan diekstradisikan ke Sepanyol untuk perbicaraan ini.

Dia adalah antara empat suspek yang disebut sebagai dalang serangan dalam laporan pendakwa raya.

“Adalah sangat sukar untuk membuktikan dia turut bertanggungjawab melancarkan serangan itu,” kata peguam, Luca D’Auria yang membela Rabei di Itali dan menganggotai pasukan peguam belanya di sini.

Dua lagi yang didakwa sebagai dalang menyusuli Rabei di kandang tertuduh.

Sepanyol meningkatkan tahap berjaga-jaga terhadap ancaman pengganas dari rendah kepada sederhana menjelang perbicaraan yang bermula hanya beberapa minggu sebelum hari ulang tahun ketiga serangan 11 Mac itu.

Radio Sepanyol menggambarkan permulaan perbicaraan ini sebagai “hari bersejarah yang sudah lama kita nantikan.”

“Operasi keselamatan sungguh luar biasa. Anda tidak akan percaya betapa banyaknya langkah keselamatan yang diambil tetapi tidak ketara,” kata satu sumber mahkamah.

Siasatan kes itu dibelenggu pelbagai teori konspirasi.

Akhbar berhaluan kanan, El Mundo hari ini meneruskan kempennya untuk membuktikan serangan itu ada kaitan dengan puak pemisah Basque, ETA.

Serangan hampir serentak itu bukan sahaja mendatangkan trauma kepada rakyat Sepanyol tetapi turut mencetuskan kejatuhan kerajaan ketika itu dan membawa kepada pengunduran askar Sepanyol dari Iraq.

Apabila beberapa bom meletup di dalam kereta api komuter yang penuh sesak tiga hari sebelum pilihan raya umum, kerajaan konservatif ketika itu segera menuding jari ke arah ETA.

Namun ketika semakin banyak bukti menunjukkan pembabitan militan berkaitan Al-Qaeda dan timbul pula rakaman video yang mendakwa serangan itu sebagai membalas dendam terhadap penyertaan Sepanyol dalam kempen tentera Amerika Syarikat (AS) di Iraq dan Afghanistan, rakyat Sepanyol keluar mengundi beramai-ramai untuk menyingkirkan kerajaan konservatif.

Kerajaan baru Sosialis segera menunaikan janjinya untuk mengundurkan askar Sepanyol dari Iraq sebaik sahaja memenangi pilihan raya 14 Mac 2004 itu.

Perbicaraan dijangka mengambil masa sehingga Julai ini apabila panel tiga hakim itu menangguhkan sidang untuk menimbangkan semua bukti.

Paling awal keputusan dan hukuman dijangka diumumkan pada Oktober nanti.

Sumber berita : Reuters

Refugee Iraq ke US

AS setuju terima 7,000 pelarian Iraq tahun ini

WASHINGTON 15 Feb. – Amerika Syarikat (AS) semalam mengumumkan rancangan mengambil 7,000 pelarian Iraq tahun ini, lebih 10 kali ganda berbanding jumlah rakyat negara itu yang memohon suaka politik sejak tahun 2003.

Washington juga mengumumkan peruntukan sebanyak RM238 juta (AS$68 juta) sebagai bantuan untuk para pelarian terbabit.

Langkah itu dibuat selepas AS dikecam hebat kerana lambat bertindak balas terhadap krisis membabitkan dua juta penduduk Iraq yang menjadi pelarian dan 1.8 juta kehilangan tempat tinggal.

Rancangan pengambilan pelarian itu juga dibuat selepas pertemuan Setiausaha Negara, Condoleezza Rice dengan Pesuruhjaya Tinggi Mengenai Pelarian Pertubuhan Bangsa-Bangsa Bersatu (UNHCR), Antonio Guterres.

Pada sidang akhbar dengan pembantu kanan Rice, Guterres mengumumkan bahawa ia akan mengadakan sidang antarabangsa penderma di Geneva pada April ini.

Mesyuarat itu adalah susulan kepada rayuan yang dibuat oleh UNHCR pada bulan lalu bagi mendapatkan dana sebanyak RM210 juta (AS$60 juta) untuk membantu 200,000 daripada 1.2 juta penduduk Iraq di Syria dan Jordan serta 250,000 yang menjadi pelarian di dalam negara.

Sejak tahun 2003, AS hanya menerima 466 pelarian termasuk 202 orang pada tahun lalu. “Angka yang dikeluarkan menggambarkan mereka sangat memerlukan bantuan segera,” kata Paula Dobriansky, Penolong Setiausaha Negara yang mengetuai pasukan bertindak peringkat tertinggi mengenai krisis pelarian.

Sumber :  AFP dan Utusan Malaysia

US penjahatnya terbanyak di Dunia

AS catat rekod banduan paling ramai di dunia

WASHINGTON 15 Feb. – Jumlah banduan di negara ini meningkat lapan kali ganda dalam tempoh 35 tahun dan dijangka semakin meningkat dengan pertambahan 192,000 banduan menjelang tahun 2011.

Kajian oleh Pew Charitable Trusts mendapati, seorang daripada 178 penduduk Amerika Syarikat (AS) akan menjadi penghuni penjara pada tahun 2011 dan peningkatan itu akan melibatkan penggunaan hasil cukai rakyat sebanyak RM96 bilion (AS$27.5 bilion).

“Kita akan berhadapan dengan masalah kesesakan di penjara berdasarkan peningkatan sebanyak 700 peratus banduan di antara tahun 1970 hingga 2005,” tegas Pew menerusi laporan Projek Prestasi Keselamatan Awamnya.

Menurut laporan itu, kajian daripada negeri-negeri pula mendapati kira-kira 1.7 juta penduduk AS akan menjadi penghuni penjara pada tahun 2011, iaitu peningkatan sebanyak 13 peratus.

Peningkatan itu adalah sesuatu yang membimbangkan kerana ia merupakan tiga kali ganda daripada kadar pertumbuhan penduduk AS.

Data itu bagaimanapun tidak termasuk penghuni di penjara negeri yang berjumlah hampir 750,000 orang dengan jumlah keseluruhannya ialah 2.2 juta iaitu rekod banduan paling ramai di dunia.

Sumber berita :  AFP dan Utusan Malaysia

Al-Qaeda Ancam US

Al-Qaeda ancam serang semua kepentingan AS

DUBAI 15 Feb. – Sayap Al-Qaeda di Arab Saudi semalam mengancam untuk melancarkan serangan ke atas bekalan minyak Amerika Syarikat (AS) di seluruh dunia dengan sasaran tidak terhad di Asia Barat sahaja.

Pertubuhan Al-Qaeda Semenanjung Arab menerusi majalah elektronik, Sawt al-Jihad (Suara Jihad), turut mendesak serangan dilakukan ke atas kepentingan minyak AS di Kanada, Venezuela dan Mexico.

“Memang ada keperluan menyerang kepentingan minyak di semua rantau yang membekal minyak kepada AS, bukan sekadar di Asia Barat sahaja,’’ tegas kenyataan itu.

Kumpulan tersebut dipercayai bertanggungjawab melakukan serangan tetapi berjaya dipatahkan ke atas Abqaiq iaitu loji minyak terbesar di dunia pada Februari 2003.

“Sasaran kita ialah kawasan kepentingan minyak seperti telaga pengeluaran, saluran paip eksport, terminal minyak dan kapal tangki ke AS.

“Serangan itu akan mengurangkan bekalan minyak untuk AS dan menjejaskan ekonominya,” tambah kenyataan.

Para pegawai dan pengawal sektor minyak dan gas Kanada menyatakan, mereka memandang serius ancaman tersebut tetapi tidak menaikkan tahap keselamatan.

“Kami selalu mengatakan kami tidak kebal daripada serangan dan kerana itu akan selalu berhati-hati,” kata Menteri Kerja Raya, Stockwell Day.

Kanada merupakan pengeksport minyak mentah terbesar ke AS, diikuti oleh Mexico, Arab Saudi dan Venezuela.

Mexico pula menyatakan, semua loji minyaknya berada dalam keadaan selamat dan tidak ada rancangan untuk meningkatkan tahap keselamatan.

Ia menyalurkan 1.4 juta tong minyak mentah sehari ke AS dan telah meningkatkan keselamatan di telaga pengeluarannya di Teluk Mexico pada tahun 2005 selaras peraturan antarabangsa.

Sementara itu, Venezuela pula menyatakan kesediaan menyiasat ancaman itu.

Sumber Berita :  Reuters dan Utusan Malaysia

Majistret Tergamam

Majistret tergamam tertuduh londeh seluar

KUALA LUMPUR 15 Feb. – Seorang penganggur yang akan didakwa merompak sebuah telefon bimbit milik seorang jurujual, tiba-tiba melakukan aksi lucah dengan menanggalkan seluar panjang yang dipakainya sehingga menyebabkan majistret yang mendengar kes itu tergamam seketika sebelum bergegas masuk ke kamarnya.

Insiden memalukan itu berlaku sejurus sebelum pertuduhan terhadap M. Kuppan, 50, dibaca atas dakwaan merompak alat telekomunikasi milik Johan Razali Hang Jebat, 18, kira-kira pukul 9.10 pagi, 11 Januari lalu dalam satu kejadian di Jalan Hang Kasturi di sini.

Lelaki tersebut ketika itu duduk dalam kandang tertuduh di Mahkamah Majistret di sini hari ini sambil menunggu giliran namanya dipanggil untuk dibacakan pertuduhan.

Dia dilihat memegang bahagian pinggang seluarnya yang agak longgar manakala tali pinggangnya tersorok dalam poket seluar.

Ketika namanya dipanggil oleh jurubahasa, Kuppan lantas berdiri sambil melepaskan bahagian pinggang seluar yang dipakainya menyebabkan ia melurut sehingga ke buku lali.

Perbuatannya itu menyebabkan Majistret Tasnim Abu Bakar terjerit kecil sambil menyatakan: ‘‘Hei apa ni!’’ sebelum melangkah masuk ke kamarnya.

Polis mahkamah bertindak pantas mengarahkan Kuppan yang tidak berseluar dalam dan berbaju ‘T’ agak labuh menyarungkan semula seluar panjangnya.

Apabila kes itu disebut semula 30 minit kemudian, Tasnim menangguhkan kes pada 22 Mac depan dan memerintahkan lelaki itu dihantar menjalani pemeriksaan psikiatri bagi mengesahkan status mentalnya.

Pendakwaan dikendalikan oleh pegawai pendakwa, Cif Inspektor Shamsul Akma Basiron

Sumber : http://www.utusan.com.my

Urgent Action

Preparatory Committee of The Free Acheh Democratic

Secretariats:
New York, United States, tel/fax +1 718 3378843
Stockholm, Scandinavia tel + 46 739 756532
E-mail: committee@freeacheh.info
http://www.freeacheh.info

Urgent Action: Two Activists were kidnapped prior to the Election

We, the Preparatory Committee of the Free Acheh Democratic would like to inform that despite reports on the successful election in Acheh, there have also been reports of violence. On Thursday, December 7, 2006, at around 15:15pm (local time), Mr. Razali Amin (60) and Mr. Tarmizi Idrus (52) have been kidnapped from a house in Lhok Jok village, Kuta Makmur subdistrict of North Acheh. Until today, the victims have yet been released and there have been signs that the two have been killed by the perpetrators.

According to the report from our investigation team conducting the interviews with witnesses including their family members at the location, the victims were having a conversation at Mr. Razali’s house along with a few other people. Suddenly, about ten men and three perpetrators who have been identified as Matlan (22), Syarwan (34) and Sipanyang Mustafa (22), all of whom believed to be members of the Acheh Transition Committee (KPA – Komite Peralihan Acheh), came to the house armed with knives and dragged the victims outside of the house and beat them in front of the family members and other witnesses. The perpetrators then took the victims with them. It was unclear on what ground they’ve been detained.
The families of the victims have been to the KPA representative office in Punteut, Blang Mangat subdistrict of North Acheh, to report the incident. However, they were not allowed to see the victims.
Based on this information, we, the Preparatory Committee of the Free Acheh Democratic strongly condemn this inhumane action that is clearly violate human rights values and democratic norms, as well as the spirit of the peace process that currently flourishing in Acheh.

We urge all local and international human rights organizations, and especially foreign observers to further investigate this incident immediately.

We demand that the KPA to view this incident seriously as it involves members from their organization. The victims’ condition should be made known to the family members and be released immediately and unconditionally. Furthermore, cooperation by local police is needed to resolve this incident. If found guilty, the perpetrators should be held accountable and be brought to justice in order to prevent such incidents recur in the future.

New York, December 14, 2006
Prepared by

(Signed)
Zikrinullah Makarim
Commission of Human Rights and Documentation
Zikrinullah.makarim@freeacheh.info

UNHCR Malaysia

Preparatory Committee of The Free Acheh Democratic

Secretariats:
New York, United States, tel/fax +1 718 3378843
Stockholm, Scandinavia tel + 46 739 756532
E-mail: committee@freeacheh.info
Website: http://www.freeacheh.info

Mr. Volker Turk
The Representative of UNHCR
(United Nations High Commissioner for Refugees)
Liaison Office Kuala Lumpur, Malaysia
E-mail: mlsu@unhcr.ch
Fax. 60.3.21411780

Dear Sir,
We are writing to express our deep concern about the new policy of UNHCR toward
Achehnese refugees in Malaysia. Based on your special information kit
“Information For UNHCR Card-Holder From Acheh Province”, dated 31 October
2006, we have learned that your Office will no longer provide protection for
Achenese refugees in Malaysia due to the current situation and the changing
political atmosphere in Acheh today.

We of the Preparatory Committee of the Free Acheh Democratic (the Committee)
recognize that the present situation in our homeland is relatively calm; there
is no more armed clashes between GAM’s National Army (TNA) and the Indonesian
National Army (TNI); and the conflict between the two warring parties has
seemingly ended. This is largely due to the developments after the tsunami that
shattered Acheh on 26 December 2004, which led to the signing of the peace
agreement in August 2005 in Helsinki.

Although relative calm and peace has prevailed in Acheh thus far, one must also
recognize that the current situation is by no means a sign that conflict has
ended. Humanitarian assistance and peace monitoring are needed for the
peace-building process, and there are some glaring gaps in the transition
process. The information provided for UNHCR by International Organization for
Migration (IOM), Acheh Monitoring Mission (AMM) and others do not necessarily
give a full version of the truth on the ground. The Committee is still concerned
about a number of critical issues that have not been handled well and, in some
cases, even deliberately dismissed, such as the flaws of the law for governing
Acheh (LOGA), gross human rights violations, security problems, reintegration
and reconciliation – just to name a few.

With regard to past violations of human rights, the former warring parties which
are the perpetrators themselves have managed to escape justice in the eyes of
the Crisis Management Initiative (CMI), AMM and other peace monitors in Acheh.
The perpetrators of gross human rights abuses and countless crimes against
humanity during three decades of conflict have not yet been held accountable.
This is in a very stark contrast to other peace efforts done in other parts of
the world such as in former Yugoslavia, Burundi-Rwanda, Cosovo-Albania, West
Africa, Congo-Kinshasa etc, where all those responsible for humanitarian crimes
have been brought to justice.

Referring to the law for governing Acheh, it is obvious that most Achehnese are
disappointed with the final version adopted by the national parliament in
Jakarta. On the occasion of the first anniversary of the MoU, thousands of
Achehnese congregated in the capital of Banda Acheh to express their
disappointment with the outcome of the LOGA as it is clearly incompatible with
the spirit of the agreement. Indonesian security forces which had been
responsible for many past abuses during the conflict are still at large in Acheh
today. Despite the end of the conflict, the security forces – police and
military – have not yet adjusted themselves to the post-conflict atmosphere.
Thus, this was proven with a number of incidents that TNI and police involved in
arbitrary killings such as the Paya Bakong incident in July, the incident of
Peudawa in March 2006, and an incident in Banda Acheh in November 25 (where a
man was tortured to death by the police). These incidents took place even where
the AMM was in present in Acheh, yet they were unable to conduct a proper and
conclusive investigation.

The Committee is concerned that the AMM’s unfulfilled task to prevail justice
over impunity and the strong dissatisfaction among the Achehnese could lead to
instability and might cause the conflict to flare up again.

Against the backdrop of the situation above and in accordance with the statute
of UNHCR itself, the Achehnese in Malaysia have every right to fear for their
uncertain future in Acheh; they have the right to fear being persecuted for
“membership of a particular social group or political opinion”; and they
have even the right to fear for not giving “option to return home voluntarily,
integrate locally or to resettle in a third country.”

There are Achehnese in Malaysia who have found themselves at odds with the MoU
process. Despite the fact that the reconciliation between GAM and Indonesia is
taking place, there is no reconciliation yet between the hostile Achehnese
groups that have existed since the conflict began. These groups still do not
feel safe being in Acheh at this moment and they do not even believe that the
current peace process will be sustainable despite all the fanfare. Therefore
under the principle of Non-refoulement in the 1951 Convention and 1967 Protocol,
the Achenese refugees in Malaysia have every right to remain as refugees so long
as the situation in Acheh has no positive guarantee for the protection from
prosecution and intimidation of their political rights and national identity.

UNHCR’s decision to collectively “punish” Achenese refugees in Malaysia by
refusing to renew their documents, is leaving them defenceless and with no
option. Worse still, the said decision could be used by the Malaysian
authorities as a carte-blanche to crackdown on the refugees. This is unfair and
even in breach of the mandate and statute of the UNHCR itself.

The Committee, therefore, appeals to your Office to review the Achehnese case
individually, not collectively, and give them a freedom to choose weather they
want to return home voluntarily or need international protection due to the
above reasons.

We thank you for your consideration of these urgent matters.

New York, December 04, 2006
Yours Sincerely,

(signed)
Eddy L Suheri
Spokesperson

Deklerasi KPAMD

Preparatory Committee of the Free Acheh Democratic

Secretariats:

New York, United States.
 Tel/Fax. +1 718 337 8843

Stockholm, Scandinavia.
 Tel. + 46 739 756532        

E-mail: committee@freeacheh.info

            preparatory.committee@gmail.com

Website: www.freeacheh.info

 

Declaration

To our nation, the nations in the world and international institutions:

We the Preparatory Committee of the Free Acheh Democratic would like to declare that we will continue our struggle for broader democratic environment in our ancestral land with respect for international laws.

We recognize the positive aspects of the Memorandum of Understanding (MoU) that was signed by the Free Acheh Movement (GAM), under the leadership of Malik Mahmud, and representative of Indonesia government in Helsinki on August 15, 2005 and on going peace process in reducing the level of violence in Acheh. However, the process that led to the current MoU was not characterized by openness and democracy.

Despite many requests from quarters in Acheh, including from some members of GAM and civil society in Acheh to be part of the process and to be allowed to input into the text of the MOU, but no such broad consultative status was given. In fact, only a selected few were invited.

The Helsinki process and the resulting MOU are politically and democratically unsounded, morally unjustifiable, and therefore, in the longer term unsustainable.

We, Achenese who are loyal to the struggle for an independent nation state, have decided to unite and establish this Committee for the following purposes: to continue our struggle for independence; to reclaim the Achenese state and its sovereignty; to lay the groundwork for the establishment of a democratic and free government in Acheh and to provide the voice for the many Achenese voices that have been left unheard. We will carry out these aims for the sake of the Achenese people, to give them the opportunity to stand alongside other nations in the world to contribute in the fight for global peace, human rights, freedom, justice and democracy.

We believe that there can never be a reason for us to be denied in continuing this struggle. The aspirations of the Achenese have been clearly stated in the Free Acheh Proclamation of 4th December 1976; it is imprinted in the minds of each Achenese, especially those who have tirelessly fought for this dream.
 

We call on our people everywhere to stand up together and unite into one strong front in order to fight for our sovereignty, nation and dignity. In reorganizing this struggle, we hereby establish the Preparatory Committee of the Free Acheh Democratic to carry out all the necessary steps in our effort to achieve this aim.

 

New York, January 15, 2006

We the Preparatory Committee of the Free Acheh Democratic:

  1. Affan Madjid (Acheh, Peureulak)
  2. Aiman Zulkarnaen (Acheh)
  3. Amir Tereusep  (Acheh Rayek)
  4. Amirul Mu’minin Nya’ Tjut Ali (Acheh)
  5. Arifin Amin Syech (Australia)
  6. Asnawi Ali (Sweden)
  7. Eddy L. Suheri (United States)
  8. Fuadi Azmi (South Africa)
  9. Ghazali Abdul Hamid (Malaysia)
  10. Guree Rahman Ismail (Sweden)
  11. Hafizzul Majid (Acheh)
  12. Hanafiah Ahmad (Norway)
  13. Hasan Kumbang (Acheh)
  14. Ibnu Hasan Abdullah (Acheh)
  15. Ichlas Ramadhan (United States)
  16. Inong Zhahir Ramadhani (Acheh)
  17. Ishak Beulama (Acheh, Mereuhom Daya)
  18. Jaffaniel Alamsyah (Acheh)
  19. Khusairi Ismail (Acheh)
  20. Mustafa Kruëng (United States)
  21. Syahbuddin Rauf (Sweden)
  22. Syuhada Linge (Acheh, Linge)
  23. Tgk. Lahmuddin Pang Teh (Malaysia)
  24. Yusuf Daud (Sweden)
  25. Zikrinullah Makarim (Malaysia)